Pengakuan Bawah Umur Yang Menikah Dini Di Kamp Pengungsian Palu
Jakarta -
Dalam beberapa bulan terakhir, tercatat setidaknya 12 masalah janji nikah anak di kamp pengungsian korban gempa dan tsunami yang tersebar di Palu, Sigi, dan Donggala di Sulawesi Tengah. Fenomena ini menambah potret buram Sulawesi Tengah sebagai salah satu kawasan dengan prevalensi janji nikah anak terbanyak.
Kasus janji nikah anak korban gempa ini disebut sebagai "fenomena gunung es", mengingat terdapat 400 titik pengungsian yang tersebar di lokasi peristiwa dan belum semuanya 'terjamah' oleh pegiat hak wanita dan pemberian anak.
Wartawan BBC News Indonesia Ayomi Amindoni dan Dwiki Muharam, mencari tahu lebih dalam di balik fenomena janji nikah anak penyintas korban peristiwa gempa dan tsunami yang terjadi pada September 2018 silam.
Di bawah ini yaitu kisah-kisah anak penyintas peristiwa gempa dan tsunami Palu yang dinikahkan. Di antara mereka, ada yang berani mendobrak norma.
Baca Juga
Cincin kawin menghiasi asisten Dini (bukan nama sebenarnya), yang sedang mengelus-elus perutnya yang kian membuncit.
Sesekali tangannya mengipasi wajahnya untuk menghalau hawa panas di bilik hunian sementara (huntara) berukuran tiga kali empat meter itu.
April lalu, ketika usianya masih 17 tahun, Dini menikah dengan sobat sebayanya.
"Sebenarnya tidak mau kawin cepat, cuma karena faktor begini kan, jadi kawin. Sebenarnya masih mau lanjut, jikalau tidak begini kan niscaya masih mau lanjut kuliah," saya Dini ketika ditemui BBC News Indonesia, Rabu (10/07).
- Likuifaksi: Ketika tanah di Kota Palu dan sekitarnya tiba-tiba 'ambles'
- Patahan Palu Koro jadi pelajaran untuk mitigasi bencana
- Ditemukan, petunjuk tsunami Palu yang 'mengejutkan' di dasar bahari
Dini beralasan, karena hamil di luar nikah, dirinya terpaksa menikah di usia yang masih dini. Namun, kehamilan Dini tidak banyak diketahui oleh tetangganya yang juga tinggal di hunian sementara di kota Palu itu.
"Di pengungsian ini tidak ada orang yang tahu saya ini kawin karena hamil, tiada."
Dini menuturkan, beliau menjalin korelasi dengan sobat sebayanya -yang kini menjadi suaminya- beberapa dikala sebelum gempa mengguncang teluk Palu, sembilan bulan silam.
Rumahnya kawasan Palu Selatan, ditelan 'tanah bergerak' atau fenomena likuifaksi yang menciptakan bangunan rumah amblas.
Setelah itu, beliau merasa hidupnya tak sama lagi.
"Karena yang dulunya ada segala macam, kini serba terbatas. Harus menyesuaikan diri ulang. Susah," ungkapnya pelan.
Tinggal di pengungsian membuatnya lebih banyak menghabiskan waktu dengan kekasihnya hingga kesudahannya beliau menyadiri dirinya sudah hamil dua bulan.
Dia menceritakan perasaannya ketika mengetahui pertama kali dirinya hamil.
"Takut, karena pikir to masih sekolah. Tapi suami bilang, 'jangan diapa-apakan, saya tanggung jawab'."
Pada April lalu, sehabis lulus dari sekolah menengah kejuruan, Dini kesudahannya menikah.
Dini menuturkan orangtuanya sempat kecewa dengan pernikahannya alasannya yaitu sebagai anak pertama, dirinya menjadi tumpuan harapan keluarga.
"Nangis, kecewa lah."
"Karena awalnya bilang saya mau kuliah, ini-itu, ujung-ujungnya tidak."
Betapapun, Dini kini mengaku pasrah dengan nasibnya.
"Mungkin jalannya sudah begitu. Takdirnya dorang."
- Kasus janji nikah anak di tenda pengungsian Kota Palu dan sekitarnya menyerupai 'gunung es'
- Pernikahan anak berusia 11 tahun, jadi istri ketiga, picu kemarahan di Malaysia
- Apakah janji nikah anak di belum dewasa benar-benar terjadi setiap tujuh detik?
Ibu Dini, Siti (bukan nama sebenarnya), mengiyakan bahwa pada mulanya beliau tidak menghendaki putrinya menikah dini. Dia menginginkan Dini menuntaskan pendidikan dan bekerja untuk memperbaiki taraf hidup keluarga.
"Maunya kita, nanti kerja, sanggup uang sendiri."
Siti sendiri gres menikah ketika usianya menginjak 21 tahun.
Namun, Siti tidak bisa melarang anaknya menikah karena selain sudah hamil di luar nikah, kondisi keuangan keluarganya pun terhimpit.
"Karena kita mata pencaharian sudah tidak menentu lagi. Sudah tinggal begini, rumah tidak ada. Mau dikasih kuliah apa sudah tiada lagi mata pencaharian," keluh Siti.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Siti menciptakan masakan ringan manis tradisional yang beliau jual di warung-warung di pengungsian. Sementara suaminya sudah tak lagi bekerja.
Santi, 15 tahunBerbeda dengan Dini yang menikah karena keterpaksaan, Santi (bukan naman sebenarnya), menikah pada Januari silam ketika dirinya masih berusia 14 tahun.
Suaminya, yaitu seorang perjaka berusia 20 tahun yang bekerja di pelabuhan.
"Saya menikah sama beliau karena kita sudah baku suka, tidak ada kata-kata untuk saling melepaskan. Makara dianya sudah bosan ketemuan terus. Kadang saya jo tidak boleh ketemuan, terpaksa lebih baik kawin aja," ungkap gadis berkulit sawo matang itu.
Santi terpaksa putus sekolah ketika duduk di kelas dua sekolah menengah pertama, karena kondisi ekonomi yang tidak mendukung.
Setelah gempa mengguncang, Vera selama beberapa ahad tinggal di tenda pengungsian. Setelah itu, beliau tinggal di rumah neneknya.
Setelah pacaran selama dua bulan dengan tetangganya, beliau kemudian memutuskan untuk menikah sehabis ibu dan neneknya memergoki beliau berpacaran.
"Suami saya katanya belum pingin kawin. Makara beliau tuh memikirkan karena kita sudah berhubungan, terpaksa beliau mau. Namanya juga kita saling menyukai. Makara kata orang renta ya mau diapain, kawinin aja."
Alasan menikahkan anak karena norma warga setempat diakui oleh Azis, ketua lembaga watak di desa itu.
"Kami sebagai lembaga watak kami sama-sama pertanggungjawabkan ini. Meski umurnya belum cukup, kami tetap laksanakan itu," ujar laki-laki paruh baya itu.
"Kenapa kami laksanakan kebetulan orang tuanya seolah-olah tidak menghiraukan mereka, sehingga kami berani juga melaksanakan janji nikah mereka." imbuhnya.
Apa penyebabnya?Pernikahan Dini dan Santi yaitu beberapa dari 12 masalah janji nikah anak yang terpantau oleh tenda ramah wanita - sebuah posko yang didirikan menjadi sentra tumpuan bagi permasalahan anak dan wanita di pengungsian - dalam kurun waktu tiga bulan terakhir.
Sebanyak 10 kasus, terjadi di enam tenda ramah wanita yang dikelola lembaga swadaya masyarakat Perkumpulan Lingkar Belajar untuk Perempuan, LIBU.
Direktur LIBU Sulawesi Tengah, Dewi Rana Amir mengungkapkan, masalah janji nikah anak paling banyak terjadi di Petobo, tempat fenomena likuifaksi terjadi.
"Memang di Petobo ini laporan yang paling banyak, ada lima orang anak, yang dilaporkan oleh volunteer. Kemudian ada dua di Pantoloan, dua orang di Jono Oge dan satu orang di Balaroa."
Dewi menuturkan empat dari anak wanita ini menikah dengan laki-laki dewasa, sementara sisanya menikah dengan sobat sebayanya.
"Satu di antaranya karena istrinya terkena likuifaksi kemarin kemudian yang kini jadi istrinya gres masuk 17 tahun dan masih bersekolah."
Lantas, apa yang menjadi penyebab anak-anak ini dinikahkan dalam usia di bawah umur?
Dewi mengungkapkan, motif ekonomi mendominasi janji nikah anak ini. Karena desakan ekonomi keluarga, yang kemudian menikahkan anaknya demi mengurangi beban keluarga.
"Walaupun di Undang-Undang Perlindungan Anak kan 0-18 tahun masih dikategorikan sebagai anak sebetulnya."

BBC
Faktor keterdesakan ekonomi juga disuarakan oleh Soraya Sultan, ketua Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah atau KPKP-ST yang ikut memberi pendampingan kepada anak-anak dan remaja di enam lokasi pengungsian di Kota Palu dan Kabupaten Donggala.
"Apalagi situasi begini, beban tekanan ekonomi, tekanan sosial juga. Begitu ada tanggung jawab yang terpindah, itu mereka merasa bebannya ilang sedikit," imbuhnya.
Namun beliau menambahkan, selain keterdesakan ekonomi, faktor hamil di luar nikah juga menjadi penyebab janji nikah anak ini.
"Walaupun hamil, tapi kan mindset orang renta jikalau anak sudah menikah, tanggung jawab orang renta lepas. Mau beliau kawin dengan seumuran kah, atau yang lebih renta kah, tanggung jawab lepas," terang Soraya.
Namun, Soraya juga menggarisbawahi bahwa perlindungan orangtua jauh berbeda ketika mereka tinggal di kamp pengungsian.
"Kalau di rumah, tingkat pemberian orang renta lebih tinggi daripada di kamp atau huntara karena tenda atau Huntara yang kecil."
"Kita kan tidak bisa memaksa anak gadis tetap tinggal di dalam rumah. Siapa yang betah di ukuran tiga kali empat, satu kali dua puluh empat jam?"
Namun, terlepas dari kondisi ekonomi yang mendesak, faktor norma sosial di Palu dan sekitarnya yang melanggengkan janji nikah anak, berdasarkan Dewi, juga menjadi penyebab maraknya janji nikah anak di Sulawesi Tengah.
"Itu jadi faktor juga, karena Sulawesi tengah ketiga tertinggi secara nasional."

BBC
"Desakan lingkungan memaksa anak untuk segera dikawinkan."
"Lingkungan, dalam hal ini tradisi dan budaya di Sulawesi tengah, terutama di kawasan pegunungan tinggi yang adatnya sangat kuat, banyak juga kita temukan kasus-kasus menyerupai itu," terang Dewi.
Rata-rata dari anak-anak ini, ujar Dewi, dinikahkan ketika mereka berusia 15-16 tahun.
Fenomena ini, berdasarkan Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAI) Rita Pranawati memperparah predikat Sulawesi Tengah yang dikenal sebagai salah satu provinsi dengan prevalensi janji nikah anak tertinggi.

BBC
Dia menuturkan situasi pendidikan dan perspektif budaya, juga menjadi penyebab maraknya janji nikah anak di Sulawesi Tengah.
"Misalnya, tidak mau dianggap anaknya tidak laku, ini kan sudah menjadi serpihan dari watak yang sering dianggap malu keluarga, aib."
"Ketercapaian wajib mencar ilmu juga tidak tinggi, situasinya jadi kurang baik."
"Tapi memang terkait kultur norma sosial dan budaya itu yang bekerjsama sering menjadi pendorong utama," kata dia.
'Saya tidak mau, saya mau kejar prestasi"Namun, di antara anak-anak yang disuruh menikah, ada yang mendobrak norma sosial itu.
Ratna dan Galih (bukan nama sebenarnya), dua sejoli yang masih duduk di dingklik sekolah menengah atas, dipaksa menikah oleh orang renta Ratna hanya karena mereka bermain hingga pagi hari.
"Saya tidak mau lah. Saya mau kejar prestasiku dengan saya mau sekolah," ungkap Ratna yang masih berusia 16 tahun itu.
Dia menuturkan ini untuk kedua kalinya sang ibu memaksanya untuk menikah.
Sebelumnya, beberapa dikala sehabis gempa dan tsunami menerjang Palu dan sekitarnya, ibunya memaksanya menikah dengan pamannya yang kehilangan istrinya.
Ratna biasa memanggil bibinya dengan sebutan 'bunda'.
"Saya disuruh menggantikan bunda. Saya disuruh kawin sama beliau (pamannya)."
Ratna eksklusif menampik paksaan dari orang tuanya itu, "Karena masih sekolah dan saya tidak suka".
"Sempat saya lari dari rumah satu minggu."
Di rumah, Ratna mengaku sering menerima perlakuan bergairah dari anggota keluarganya, termasuk ibu, nenek dan pamannya. Hal itu membuatnya tidak betah tinggal di rumah.
Bahkan, Ratna mengaku sudah tiga kali diperkosa oleh pamannya.
"Kejadiannya sesuah gempa, waktu bunda saya masih hidup. Pas malam, saya tidur di kamar nenek, terus beliau masuk kamar. Saya teriak tidak bisa, beliau perkosa saya, saya tidak bisa teriak mau bagaimana, saya tidak bisa teriak," ungkap Ratna sambil menahan tangis.
Bukan hanya sekali itu saja beliau diperkosa oleh pamannya. Setidaknya, saya Ratna, sudah tiga kali sang paman melakukannya.
Saat ini masalah ini sedang diproses oleh pihak kepolisian.
Namun, peristiwa ini tidak mematahkan semangatnya untuk melanjutkan pendidikan demi mengejar cita-citanya menjadi guru olahraga.
"Mau sekali, saya mau melanjutkan sekolah hingga kuliah. Makara guru penjas (pendidikan jasmani)"
Fenomena gunung es?Pernikahan Dini dan Santi yaitu apa yang disebut 'puncak gunung es' oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulawesi Tengah, Ihsan Basir.
Dia mengungkapkan dikala ini ada 12 masalah janji nikah anak yang tercatat di 12 titik pengungsian korban gempa dan tsunami yang terjadi September silam.
"Ini menyerupai fenomena gunung es ya, kita bisa lihat dari permukaan saja besarnya, artinya orang yang melapor memang di 12 titik. Kita punya titik-titik posko di situ. Tapi jikalau saja [jumlah posko] lebih dari itu, bisa jadi itu lebih," ujar Ihsan.
Lebih lanjut, Ihsan mengklaim bahwa tren janji nikah anak di Sulawesi Tengah mengalami penurunan.
Di tahun 2018, prevalensi janji nikah anak menjadi 22%.
"Hanya saja, sehabis gempa, kita belum bisa deteksi secara riil data. Dari data Dukcapil, di kota Palu sendiri ada 28 anak laki-laki yang kawin terlalu dini dan ada 45 orang wanita yang klafikasinya janji nikah anak," kata dia.
Dewi dari LIBU Sulawesi Tengah mengkhawatirkan angka yang sudah terdeteksi ini jauh di bawah angka yang sebenarnya, mengingat ada sekitar 400 lokasi pengungsian yang tersebar di Palu, Sigi dan Donggala.
"Data kini ada 400 titik pengungsian dan jujur saja, kita belum bisa melaksanakan intervensi ke banyak titik."
Apalagi, lanjut Dewi, dikala ini masih banyak dari pengungsi ini masih tinggal di tenda-tenda. Mereka yang berada di tenda pengungsian, dipandang jauh lebih rentan ketimbang mereka yang kini sudah tinggal di hunian sementara.
"Mungkin yang tidak terlapor, atau yang tidak bisa kita pantau dari 400 titik itu, apalagi dengan kerentanan pascabencana," kata dia.
Hingga Mei 2019, berdasarkan data pemkot Palu, setidaknya masih terdapat 10.000 kepala keluarga atau 40.136 jiwa masih berada di lokasi-lokasi pengungsian.
Dari jumlah itu gres 4.558 KK yang sudah tertampung oleh Hunian Sementara (Huntara) yang dibangun oleh pemerintah dan LSM, sedangkan sisanya sebanyak 6.655 KK masih tinggal di tenda-tenda pengungsian.
Perempuan dan anak semakin rentanKetua Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKP-ST) Soraya Sultan menyebut fenomena janji nikah anak di kamp pengungsian ini menciptakan anak-anak dan wanita penyintas peristiwa kian rentan.
"Dari sisi sosial, dari sisi ekonomi, pemberian hukum, semua serba rentan," ujar Soraya.
Dia menuturkan, ada tiga gosip besar yang menghantui wanita dan anak di pengungsian. Selain janji nikah anak, fenomena trafficking juga menjadi bahaya gres bagi wanita penyintas bencana.
"Seperti di Sigi, Sulawesi Tengah ini yaitu salah satu kantong buruh migran dan itu sudah mulai kelihatan, karena kehilangan pekerjaan, mereka bermigrasi, terserah mau jadi apa. Fenomena trafficking sudah mulai muncul," terang Soraya.
Dia menambahkan kesehatan reproduksi wanita juga menjadi problem bagi wanita di pengungsian.
"Kami juga menekankan pada pemerintah agar gosip ini jadi sorotan dan jadi program. Karena tenda ramah wanita kan terbatas, kemampuan, apalagi kita betul-betul fungsinya relawan di sini," kata dia.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulawesi Tengah, Ihsan Basir, menyampaikan untuk menekan angka janji nikah di bawah umur, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah melaksanakan penyuluhan dan respons cepat dalam wujud lembaga anak-anak yang dibuat pihak pemprov.
"Kita juga akan memakai PKK karena mereka punya basis di desa-desa terkait penjangkauan soal janji nikah anak ini. Kita juga punya sentra partisipasi masyarakat secara terpadu terkait perkawinan anak yang kini sedang kita galakkan," terang Ihsan.
Belum ada Komentar untuk "Pengakuan Bawah Umur Yang Menikah Dini Di Kamp Pengungsian Palu"
Posting Komentar